SYALOM

SYALOM..KARENA BAGIKU HIDUP ADALAH KRISTUS DAN MATI ADALAH KEUNTUNGAN (FILIPI. 1:21)

Sabtu, 07 Desember 2013

JANGAN PERSAMAKAN ALLAH DENGAN PARA DEWA

JANGAN PERSAMAKAN ALLAH DENGAN PARA DEWA (Jumat, 06 Desember 2013).
Keluaran 8:1-15

Semua agama dan kepercayaan mengakui memiliki Tuhan yang sejati. Hal itu membuat sebagian orang cenderung bersikap exsklusif. Firaun memiliki keyakinan bahwa para dewanya mampu menandingi Allah Israel. Bagi Musa dan Harun, Firaun harus tunduk kepada kedaulatan Allah mereka. Karena itu setiap kali tulah Tuhan mengenai Firaun dan bangsanya, Musa selalu berkata “Supaya Tuanku mengetahui, bahwa tidak ada yang seperti Tuhan, Allah kami”. Inti dari kalimat ini bahwa Tuhan menegaskan kepada Firaun dan bangsanya bahwa Tuhan umat Israel adalah Allah yang sejati. Karena itu meskipun para ahli jampi Fiarun dapat berbuat mirip seperti mujizat, namun mereka selalu dikalahkan oleh kekuatan mujizat Tuhan.

Pada tulah kedua orang Mesir direpotkan oleh katak. Padahal, katak bagi orang Mesir termasuk binatang dikeramatkan dan diasosiasikan dengan dewa Hapi dan dewi Heqt, untuk membantu proses kelahiran seorang anak. Mungkin hal ini yang menyebabkan Firaun malah memerintahkan para ahli sihirnya untuk membuat katak-katak yang lain. Katak memang berhasil dibuat, tetapi apa akibatnya? Firaun bukannya berhasil memusnahkan tulah katak, tetapi malah menambah populasi katak semakin tak terkendali lagi (7). Sadar ancaman yang serius ini, Firaun menyerah sesaat dan mengizinkan umat Israel pergi beribadah kepada Tuhan di padang gurun. Namun ternyata hal itu bukan keluar dari hati yang sungguh-sungguh takluk kepada Tuhan. Setelah Mesir dilepaskan dari tulah katak, Firaun segera menarik kembali janjinya. Namun Tuhan tidak dapat dipermainkan oleh siapa pun. Tuhan kembali mengirimkan tulah-Nya yang ketiga yakni nyamuk seperti debu menghinggapi manusia dan segala ternak orang Mesir.

Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa Tuhan berkuasa, dari segala para dewa di dunia ini, karena itu jangan permainkan Tuhan dengan janji yang tidak ditepati dan jangan persamakan Tuhan dengan ilah yang murahan. Tidak jarang anak Tuhan saat sakit maupun dirundung masalah, berjanji akan menyerahkan hidupnya dalam pimpinan Tuhan. Namun ketika waktu telah berlalu, ia menarik kembali janjinya atau pura-pura lupa akan janji itu. Segala rencana dan upaya apapun yang berupaya mengelabui Tuhan seperti yang dibuat Firaun tidak akan berhasil, malah semakin menampah kesengsaraan dan malapetaka yang semakin hebat. Demikian pula dalam hidup kita, Allah jangan disamakan atau diperlakukan seperti para dewa, sehingga kita dapat bernegosiasi dan membujuk-Nya dengan daya upaya manusia. Tuhan tidak suka dipermainkan. Firman-Nya, “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Gal. 6:7).

Pdt Dermawisata J. Baen , MTh

ALLAH MEMAKAI BANYAK CARA SUPAYA KITA MENGAKUI KEDAULATANNYA

ALLAH MEMAKAI BANYAK CARA SUPAYA KITA MENGAKUI KEDAULATANNYA (Kamis, 05 Desember 2013).

Keluaran 7:14-25

Firaun tidak mengenal Allah Israel maka wajar saja bila ia mengeraskan hati dan menolak permintaan Musa dan Harun, seperti yang difirmankan Tuhan. Setelah berulang kali menghadap Firaun, Musa tetap ditolak. Maka kini Tuhan bertindak dengan kuasa-Nya. Ia menghukum Mesir dan Firaun dengan tulah. Kita melihat di sini bahwa salah satu cara Tuhan agar orang mengakui kedaulatan-Nya adalah dengan menghancurkan semua yang menjadi pegangan hidup mereka. Tulah pertama adalah air menjadi darah, telah mengerogoti sendi utama kehidupan bangsa Mesir. Sungai Nil yang merupakan sungai suci bagi orang Mesir tiba-tiba berubah menjadi darah. Semua makhluk di dalam air mati dan air berbau busuk. Orang Mesir tidak dapat meminum air sungai itu, padahal Nil adalah sumber air minum dan sekaligus sumber makanan, karena ikan yang hidup di dalamnya. Dari tulah pertama ini, Musa dan Firaun belajar tentang kuasa Allah yang tak tertandingi. Ia dapat mengubah air menjadi darah. Meski Firaun mempunyai ahli-ahli untuk membuat hal yang sama, tetapi mereka tidak dapat membuat segala sesuatu kembali seperti semula. Melalui nas ini memperlihatkan kepada kita:

Pertama, kita tahu dari kitab suci dan dari pengalaman iman sendiri bahwa Allah adalah Mahakuasa, lalu mengapa kita mempercayakan kekuatan lain diluar kuasa Allah. Jelas bahwa Allah Israel yang juga adalah Allah kita lebih besar kuasa-Nya daripada segala ahli sihir, ahli nujum, dan orang-orang sakti lainnya, baik yang ada di Mesir maupun yang ada di seluruh penjuru dunia ini. Karena itu, jangan pernah berpaling dari Allah dan mempercayakan hidup kepada orang-orang yang mengaku dirinya kuasa. Mungkin saja mereka memiliki “kuasa”, bahkan meniru seperti yang dibuat Allah, namun yang dibuat mereka merugikan, mengerikan dan tidak membawa kepada ketentraman. Tetapi Allah Mahakuasa, karena itu selain dapat membuat sesuatu menjadi buruk untuk menunjukkan kekuasaannya, tetapi Ia juga dapat mengembalikan segala sesuatu yang tadinya buruk menjadi baik untuk mendatangkan damai sejahtera dan keselamatan.

Kedua, kadang Tuhan memakai bencana untuk menyadarkan manusia bahwa mereka tidak bisa menolak Allah dalam hidup mereka. Orang yang percaya pun tidak jarang harus dicambuk dengan penderitaan hidup agar mereka sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan, bukan kekuatan dan hikmat dunia. Karena itu, kita perlu belajar mengakui kedaulatan Allah atas hidup kita.

Pdt. Dermawisata J. Baen, MTh.

LAKUKANLAH SEGALA SESUATU DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH

LAKUKANLAH SEGALA SESUATU DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH (Sabtu, 07 Desember 2013)

Keluaran 8 :16-19

Orang yang pernah mengalami pertolongan kuasa Tuhan atau sebaliknya telah ditobatkan oleh kuasa-Nya, biasanya akan mengakui bahwa tangan Tuhan berkuasa. Namun berbeda dengan Firaun, meski ia menyaksikan sendiri kuat kuasa tangan Tuhan menimpa mereka, tetapi ia tetap mengeraskan hatinya. Tuhan kembali mengirimkan tulah-Nya yang ketiga melalui pukulan tongkat Musa sehingga debu tanah berubah menjadi nyamuk yang sangat banyak. Berbeda dari tulah pertama dan kedua, tulah ketiga tidak bisa dibuat dengan mantera-mantera para ahli Mesir. Sebab itu mereka mengakui, “Inilah tangan Allah” (19). Namun Firaun tetap tidak melepaskan bangsa Israel

Firaun sedang mempermainkan Tuhan. Jika ahli mantera sudah merasa kalah dari Allah sehingga terucap pujian bagi Allah, namun Firaun masih mencoba mengulur-ngulur waktu. Pembebasan yang harusnya diberikan ditunda-tunda. Ia mengeraskan hati padahal dia sudah tahu betapa hebat dan dahsyatnya Allah Israel. Firaun tetap berbuat curang terhadap Israel, tetapi Allah melindungi umat-Nya. Kadang demi tujuan tertentu atau untuk keuntungan pribadi, seseorang juga bisa seperti Firaun yakni mempermainkan Tuhan. Kita melihat dan menyakksikan betapa hebat dan dahsyatnya pekerjaan Allah itu. Orang lain pun di luar kita, mengakui bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Allah yang luar biasa, namun kita sendiri sebagai anak-anak-Nya kadang-kadang mengeraskan hati.

Saudara, adalah jauh lebih baik tidak mengetahui, dari pada mengetahui tetapi tidak melakukan apa yang kita ketahui. Firman Tuhan dalam (Yak. 4:17) berkata, ”Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa”. Jadi dosa timbul bukan saja karena melakukan hal-hal yang jahat, tetapi kita bisa menjadi berdosa karena tidak melakukan apa yang mestinya harus kita lakukan. Karena itu, bila saudara mengetahui sesuatu sebagai kebenaran, lakukanlah semua itu dengan sungguh-sungguh.

Pdt. Dermawisata J. Baen , MTh.

KITA ADALAH PAPAN PENUNJUK JALAN KEPADA KRISTUS

KITA ADALAH PAPAN PENUNJUK JALAN KEPADA KRISTUS (Minggu, 08 Desember 2013)
Yohanes 1 :19-28

Masyarakat Yahudi di zaman Yohanes sedang berada kondisi terjajah oleh pemerintah Romawi. Sebagai bangsa yang terjajah, maka kehadiran pemimpin yang berkharisma, sangatlah dinantikan untuk membawa mereka pada alam kebebasan. Ditengah situasi yang memprihantinkan ini, tampillah Yohanes dengan ajakan untuk bertobat, sebab katanya kerajaan Allah sudah dekat. Ajakan ini tentulah memancing perhatian masyarakat luas.

Orang banyak menjadi penasaran. Mereka bertanya,”Siapakah engkau? Pertanyaan itu singkat dan sederhana, namun mengandung pengertian yang dalam, karena tidak hanya menanyakan nama dan alamat. Tetapi menyangkut semua identitas diri Yohanes. Menanggapi pertanyaan ini, Yohanes menjawab bahwa ia bukan Mesias (ay.20). Kalau demikian, apakah dia Elia, atau nabi yang akan datang?. Tetapi Yohanes menjawab, bukan. Orang Farisi terus mendesaknya, kalau bukan Mesias, Elia atau nabi yang akan datang, mengapa ia membaptiskan orang, karena yang boleh membatis hanyalah seorang nabi.

Yohanes menjawab,”Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan, seperti yang dikatakan nabi Yesaya” (Yes. 40:3). Jawaban Yohanes apa adanya terhadap dirinya mengajak kepada setiap orang percaya yang ingin memperkenalkan Tuhan, agar tidak mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri. Tetapi setiap kali orang percaya terlibat dalam pekerjaan Tuhan, maka hendaknya selalu mengarahkan perhatian pendengarnya kepada Yesus Kristus yang adalah pokok pemberitaan orang-orang percaya. Peluang menjadi orang yang terkenal, dan dihormati seperti Yohanes tentu sangat besar. Namun dia tidak memanfaatkan kekaguman orang banyak untuk kepentingan pribadinya. Yohanes pembaptis adalah seumpama papan penunjuk jalan atau penunjuk arah. Sebagai papan penunjuk jalan dia harus mengarahkan setiap orang kepada Kristus.

Demikian pula kepada setiap orang percaya. Kehadiran kita baik sebagai individu maupun persekutuan di tengah masyarakat, juga seumpama papan penunjuk jalan, agar setiap orang yang ingin mengenal Yesus Kristus dapat sampai kepada-Nya. Sebagai papan penunjuk jalan, maka mustahil kehadiran kita berada di tengah jalan, sebab kalau papan penunjuk jalan berdiri di tengah jalan, maka kita bukan lagi penunjuk jalan yang benar, tetapi akan menjadi penghalang jalan orang kepada Kristus.

Kita sudah memasuki minggu Adventus pertama. Adven adalah merupakan masa penantian yang diisi dengan persiapann hati dan pikiran kita menyambut kedatangan putra Allah. Masa Advenus akan bermakna, jika kita sungguh-sungguh mempersiapkan jalan kepada setiap orang untuk menerima dan melahirkan Kristus dalam hati kita masing-masing.

Pdt. Dermawisata J. Baen, MTh.

Kamis, 05 Desember 2013

JANGAN BERKECIL HATI MENYAKSIKAN MEREKA YANG MENGERASKAN HATI

JANGAN BERKECIL HATI MENYAKSIKAN MEREKA YANG MENGERASKAN HATI

Keluaran 6:27:7:13

Seperti halnya kita, tatkala diberikan tugas yang sangat berat, maka Musa pun mengungkapkan alasan ketidak-mampuannya dalam menjalankan tugas yang diberikan Tuhan (6:27-29). Namun bagaimana jawab Tuhan? ”Lihat, Aku akan mengangkat engkau sebagai Allah bagi Firaun…” Sebagai wakil Allah, Musa memiliki otoritas Ilahi. Melalui Musa Allah bertindak menyelamatkan umat-Nya, sekaligus menghajar Firaun yang mengeraskan hatinya. Kitab Keluaran menggunakan dua bentuk ungkapan yang berkenaan dengan kekerasan hati Firaun.

Pertama, Firaun mengeraskan hati (7:13-14, 22 ). Kedua, Tuhan mengeraskan hati Firaun (9:12; 10:1). Kedua bentuk ini nampak nanti melalui sepuluh tulah yang diberikan Tuhan kepada Mesir melalui Musa. Pada mulanya Firaun mengeraskan hati menolak membebaskan Israel (tulah 1-5), tujuannya Tuhan ingin menunjukkan kepada Israel bahwa Dia adalah Tuhan yang akan menghukum Firaun dan seluruh Mesir atas kejahatan yang telah mereka lakukan terhadap Israel. Namun mulai (tulah 6-10) akhirnya Tuhan sendiri yang mengeraskan hati Firaun. Perhatikanlah keterangan tentang kerasnya hati Firaun selalu ditegaskan kembali di setiap akhir tulah. Hal ini menunjukkan bahwa Allah dapat memakai dosa seseorang untuk menghukum dia oleh keberdosaannya. Prinsip yang sama dijelaskan oleh Paulus dalam Roma 1:24-32, bahwa Allah menyerahkan orang berdosa pada keberdosaan mereka sebagai hukuman-Nya kepada mereka.

Dari nas ini, kita dapat belajar bahwa: Pertama, karena Allah berdaulat memakai dosa manusia sebagai penghukuman atas orang yang berdosa itu, maka jangan keraskan hati saat kita ditegur karena dosa kita. Cepat bertobat agar kita segera menerima pengampunan-Nya. Kedua, kita tidak perlu berkecil hati menyaksikan orang-orang yang mengeraskan hati melawan Tuhan dan hamba-hamba-Nya, karena lambat lalun kekerasan hati mereka akan dihancurkan sendiri olah kuasa Allah. Memang kekerasan hati mereka nampak seperti sebuah kekuatan yang berkuasa, namun semua itu tetap dibawah kendali Allah (Allah bisa mengeraskan hatinya) demi untuk menunjukkan kuasa-Nya lebih besar lagi. Tetapi Tuhan juga memberikan otoritas ilahi bagi hamba-hamba-Nya, sehingga kebenaran yang dikumandangkan tidak akan kembali sia-sia. Bila sampai waktunya, para penentang kebenaran satu demi satu akan tumbang, baik karena anugerah Allah membuat mereka bertobat dengan hati yang hancur, maupun oleh murka Allah, mereka akan binasa oleh kekerasan hatinya sendiri.

Pdt . Dermawisata J. Baen, MTh.

Sabtu, 30 November 2013

PESAN NATAL BERSAMA


PESAN NATAL BERSAMA
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI)
TAHUN 2013
“Datanglah, ya Raja Damai”
(Bdk. Yes. 9:5)


Saudara-saudari terkasih, 
segenap umat Kristiani Indonesia, 
Salam sejahtera dalam kasih Tuhan kita Yesus Kristus.

1. Kita kembali merayakan Natal, peringatan kelahiran Yesus Kristus Sang Juruselamat dunia. Perayaan kedatangan-Nya selalu menghadirkan kehangatan dan pengharapan Natal bagi segenap umat manusia, khususnya bagi umat Kristiani di Indonesia. Dalam peringatan ini kita menghayati kembali peristiwa kelahiran Yesus Kristus yang diwartakan oleh para Malaikat dengan gegap gempita kepada para gembala di padang Efrata, komunitas sederhana dan terpinggirkan pada jamannya (bdk. Luk. 2:8-12). Selayaknya, penyampaian kabar gembira itu tetap menggema dalam kehidupan kita sampai saat ini, dalam keadaan apapun dan dalam situasi bagaimanapun.

Tema Natal bersama PGI dan KWI kali ini diilhami suatu ayat dalam Kitab Nabi Yesaya 9:5 “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita; seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang; Penasehat Ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai”. Kekuatan pesan sang nabi tentang kedatangan Mesias dibuktikan dari empat gelar yang dijabarkan dalam nubuat tersebut, yaitu: 1). Mesias disebut “Penasihat ajaib”, karena Dia sendiri akan menjadi keajaiban adikodrati yang membawakan hikmat sempurna dan karenanya, menyingkapkan rencana keselamatan yang sempurna. 2). Dia digelari “Allah yang perkasa”, karena dalam DiriNya seluruh kepenuhan ke-Allah-an akan berdiam secara jasmaniah (bdk. Kol. 2:9, bdk. Yoh. 1:1.14). 3). Disebut “Bapa yang kekal” karena Mesias datang bukan hanya memperkenalkan Bapa Sorgawi, tetapi Ia sendiri akan bertindak terhadap umat-Nya secara kekal bagaikan seorang Bapa yang penuh dengan belas kasihan, melindungi dan memenuhi kebutuhan anak-anak-Nya (Bdk. Mzm. 103:3). 4). Raja Damai, karena pemerintahan-Nya akan membawa damai bagi umat manusia melalui pembebasan dari dosa dan kematian (bdk. Rm. 5:1; 8:2). 

2. Seiring dengan semangat dan tema Natal tahun ini, kita menyadari bahwa Natal kali ini tetap masih kita rayakan dalam suasana keprihatinan untuk beberapa situasi dan kondisi bangsa kita. Kita bersyukur bahwa Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama. Namun, dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, kita masih merasakan adanya tindakan-tindakan intoleran yang mengancam kerukunan, dengan dihembuskannya isu mayoritas dan minoritas di tengah-tengah masyarakat oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan kekuasaan. Tindakan intoleran ini secara sistematis hadir dalam berbagai bentuknya. Selain itu, di depan mata kita juga tampak perusakan alam melalui cara-cara hidup keseharian yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan seperti kurang peduli terhadap sampah, polusi, dan lingkungan hijau, maupun dalam bentuk eksploitasi besar-besaran terhadap alam melalui proyek-proyek yang merusak lingkungan.   

Hal yang juga masih terus mencemaskan kita adalah kejahatan korupsi yang semakin menggurita. Usaha pemberantasan sudah dilakukan dengan tegas dan tak pandang bulu, tetapi tindakan korupsi yang meliputi perputaran uang dalam jumlah yang sangat besar masih terus terjadi. Hal lain yang juga memprihatinkan adalah lemahnya integritas para pemimpin bangsa. Bahkan dapat dikatakan bahwa integritas moral para pemimpin bangsa ini kian hari kian merosot. Disiplin, kinerja, komitmen dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat digerus oleh kepentingan politik kekuasaan. Namun demikian, kita bersyukur karena Tuhan masih menghadirkan beberapa figur pemimpin yang patut dijadikan teladan. Kenyataan ini memberi secercah kesegaran di tengah dahaga dan kecewa rakyat atas realitas kepemimpinan yang ada di depan mata.

3. Karena itu, Gema tema Natal 2013 “Datanglah, Ya raja Damai” menjadi sangat relevan. Nubuat Nabi Yesaya sungguh memiliki kekuatan dalam ungkapannya. Seruan ini  mengungkapkan sebuah doa permohonan dan sekaligus harapan akan datangnya sang pembawa damai dan penegak keadilan (bdk. “Penasihat Ajaib”). 
Doa ini dikumandangkan berangkat dari kesadaran bahwa dalam  situasi apapun, pada akhirnya  “Allah yang perkasa, Bapa yang Kekal,” Dialah yang memiliki otoritas atas dunia ciptaan-Nya.  Dengan demikian, semangat Natal adalah semangat merefleksikan kembali arti Kristus yang sudah lahir bagi kita, yang telah menyatakan karya keadilan dan perdamaian dunia, dan karenanya pada saat yang sama, umat berkomitmen untuk mewujudkan kembali karya itu, yaitu karya perdamaian di tengah konteks kita. Tema ini sekaligus mengacu pada pengharapan akan kehidupan kekal melalui kedatangan-Nya yang kedua kali sebagai Hakim yang Adil. Semangat tema ini sejalan dengan tekad Gereja-gereja sedunia yang ingin menegakkan keadilan, sebab kedamaian sejati tidak akan menjadi nyata tanpa penegakan keadilan. 
Karena itu, dalam pesan Natal bersama kami tahun ini, kami hendak menggarisbawahi semangat kedatangan Kristus tersebut dengan sekali lagi mendorong Gereja-gereja dan seluruh umat Kristiani di Indonesia untuk tidak jemu-jemu menjadi agen-agen pembawa damai dimana pun berada dan berkarya. Hal itu dapat kita wujudkan antara lain dengan:
• Terus mendukung upaya-upaya penegakkan keadilan, baik di lingkungan kita maupun dalam lingkup yang lebih luas. Hendaklah kita menjadi pribadi-pribadi yang adil dan bertanggung jawab, baik dalam lingkungan keluarga, pekerjaan, gereja, masyarakat dan dimana pun Allah mempercayakan diri kita berkarya. Penegakkan keadilan, niscaya diikuti oleh sikap hidup yang berintegritas, disiplin, jujur dan cinta damai.
• Terus memberi perhatian serius terhadap upaya-upaya pemeliharaan, pelestarian dan pemulihan lingkungan. Mulailah dari sikap diri yang peduli terhadap kebersihan dan keindahan alam di sekitar kita, penghematan pemakaian sumber daya yang tidak terbarukan, serta bersikap kritis terhadap berbagai bentuk kegiatan yang bertolak belakang dengan semangat pelestarian lingkungan. Dengan demikian kita juga berperan dalam memberikan keadilan dan perdamaian terhadap lingkungan serta generasi penerus kita.
• Semangat cinta damai dan hidup rukun menjadi dasar yang kokoh dan modal yang sangat penting untuk menghadapi agenda besar bangsa kita, yaitu Pemilu legislatif maupun Pemilu Presiden-Wakil Presiden tahun 2014 yang akan datang. 
Saudara-saudara terkasih,
Marilah kita menyambut kedatangan-Nya sambil terus mendaraskan doa Santo Fransiskus dari Asisi ini:

Tuhan,
Jadikanlah aku pembawa damai,
Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih
Bila terjadi penghinaan jadikanlah aku pembawa pengampunan

Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian 
Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan,
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang,

Tuhan semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur,
Memahami dari pada dipahami, mencintai dari pada dicintai,
Sebab dengan memberi aku menerima
Dengan mengampuni aku diampuni
Dengan mati suci aku bangkit lagi, untuk hidup selama-lamanya.
Amin

SELAMAT NATAL 2013 DAN TAHUN BARU 2014
Jakarta, 18 November 2013
Atas nama



   PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA                     KONFERENSI WALIGEREJA
               DI INDONESIA  (PGI),                                          INDONESIA (KWI),
    

             Pdt. Dr. A.A. Yewangoe                                            Mgr. I. Suharyo
                      Ketua Umum                                                           Ketua
    

             
                 Pdt. Gomar Gultom                                       Mgr. J.M. Pujasumarta
                   Sekretaris Umum                                           Sekretaris Jendral

Jumat, 29 November 2013

SIKAP CEROBOH ITU SANGAT MERUGIKAN

SIKAP CEROBOH ITU SANGAT MERUGIKAN

Kejadian 34:1-31

Tindakan kecerobohan atau tidak hati-hati, biasanya bermuara pada kerugian diri sendiri. Dikisahkan dalam nas ini, Dina berjalan pergi sendirian, bahkan pergi sendirian ke tengah-tengah orang kafir, mengunjungi perempuan-perempuan kafir (ay 1). Tentu saja ini merupakan suatu hal yang berbahaya bagi seorang perempuan untuk berjalan-jalan sendirian. Dina seharusnya tahu akan hal itu, tetapi ia tetap melakukannya. Apa akibatnya? Sangat jelas ketika kita membaca keseluruhan kisahnya yang memilukan dalam nas ini. Dina, putri Yakub satu-satunya, diperkosa oleh Sikhem, anak Hemor, raja orang Hewi. Sikhem lalu memintanya sebagai isteri dan ia tersedia bersunat: tetapi secara kotor Sikhem dibunuh oleh Lewi dan Simeon.

Ceritera berikutnya mengenai dua suku: Hamor, ayah Sikhem, mengusulkan perkawinan masal antara sukunya sendiri dengan anak-anak Yakub. Usul itu diterima dengan syarat bahwa suku Hamor bersunat. Persetujuan itu dilanggar oleh anak-anak Yakub yang merampasi kota Sikhem dan membunuh penduduknya. Simeon dan Lewi membunuh mereka semua (ay 25-26a). Mereka marah, lalu membunuh Sikhem dan Hemor. Kemarahan sering membuat orang bertindak tidak rasionil. Sekalipun anak-anak Yakub, khususnya Simeon dan Lewi, mempunyai alasan yang benar untuk marah, tetapi karena perwujudan kemarahan itu terlalu berlebihan, maka mereka dikecam. Seperti yang dikatakan oleh Pulpit Commentary: “A just cause for anger does not excuse its excess” (= penyebab yang benar dari suatu kemarahan, tidak memaafkan kemarahan yang berlebihan). Berhati-hatilah dengan perwujudan yang berlebihan dari kemarahan.

Pada waktu anak-anak Yakub pulang, dan mendengar peristiwa itu, mereka menjadi sangat marah (ay. 7). Sampai di sini mereka sebetulnya tidak salah! Marah menghadapi hal seperti itu adalah wajar dan bahkan harus ada dalam diri orang percaya! Perwujudan kemarahan anak-anak Yakub, khususnya Simeon dan Lewi (ay 13-29). Mereka berkata bahwa mereka tidak boleh kawin dengan orang yang tidak bersunat. Sebetulnya kata-kata ini benar kalau mereka tidak mengucapkannya sebagai tipu muslihat. Tetapi jelas bahwa di sini mereka mengucapkannya sebagai tipu muslihat, dan ini jelas salah, karena mereka menggunakan nama Tuhan/agama/sakramen sebagai tipu daya kepada orang lain.

Demikian pun tentang perkataan Simeon dan Lewi kepada Hemor, Sikhem, dan semua rakyat jika mereka disunat, maka bolehlah Sikhem mengawini Dina. Ini salah, bukan hanya karena ini adalah tipu daya, tetapi juga karena kata-kata itu sendiri adalah salah! Mengapa? Karena sekedar disunat tidak menjadikan mereka umat Allah, sehingga tetap tidak menyebabkan mereka boleh mengawini umat Tuhan. Ingat bahwa yang penting bukanlah sunat secara lahiriah, tetapi pertobatan mereka! Ada banyak orang kristen yang mempunyai pandangan demikian: ‘asal pacar saya mau dibaptis dan pergi ke gereja, saya boleh menikah dengan dia! Bertobat sungguh-sunguh atau tidak, tidak jadi soal!’ Ingat bahwa sekalipun pernikahan antar orang kristenpun tidak dijamin bahagia, tetapi pernikahan campuran dijamin tidak bahagia! Karena itu janganlah menikah dengan orang yang tidak sungguh-sungguh percaya kepada Kristus (bdk. 2Kor 6:14).

Melalui peristiwa kehidupan, terlihat dengan jelas betapa sikap umat pilihan Allah terkadang bertindak seperti orang kafir yang ganas. Yakub tua yang malang menjadi susah. Yakub sang ayah yang sudah sepuluh tahun di Sukot dan Sikhem merupakan pilihan tempat yang ceroboh. Hidup di lingkungan kafir yang berbahaya bagi keluarganya. Di samping itu Yakub tanpa melakukan sesuatu yang berarti dalam mempersiapkan keluarganya secara rohani menghadapi berbagai arus deras kehidupan. Dia terlalu sibuk mengumpulkan harta materi dan memperoleh keuntungan duniawi sehingga tidak sempat memperhatikan dasar-dasar kesusilaan dan rohani keluarganya. Waspadalah terhadap sikap yang ceroboh, tidak hati-hati, karena itu mendatangkan banyak kerugian bagi diri sendiri. Amin!

Pdt. Kristinus Unting, M.Div

Senin, 25 November 2013

BELAJAR DARI "TAHTA DAUD"

BELAJAR DARI "TAHTA DAUD" (Senin, 25 Nopember 2013) 
 II Samuel 7:1-17 
 Daud adalah seorang yang mendapatkan janji Allah, “Apabila umurmu sudah genap dan engkau telah mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangmu, maka Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian, anak kandungmu, dan aku akan mengokohkan kerajaannya “ (ay.12). Allah bermaksud agar keturunan Daud selalu menduduki takhta di Yerusalem, asal saja para raja Yehuda itu tetap setia dan taat kepada-Nya. Janji Allah bahwa keturunan Daud akan berlangsung selama-lamanya di atas orang Israel bergantung pada kesetiaan Daud dan keturunannya untuk taat pada Allah. Allah tidak mengikat perjanjian dengan Daud karena Daud layak, benar, atau telah melakukan perbuatan baik; sebaliknya perjanjian itu ditetapkan karena kemurahan dan kasih karunia-Nya (2 Sam. 7:21), untuk kemuliaan nama-Nya (ay. 26), masa depan umat-Nya Israel (2 Sam. 5:12), dan akhirnya keselamatan semua bangsa (2 Sam.11:1,10). Daud menerima janji Allah ini dengan kerendahan hati dan iman. Sebenarnya Daud bukanlah seorang bapa yang tidak pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya. Tetapi Tuhan mengampuni dan memulihkan kehidupan Daud sebagai seorang bapa. Apa yang menyebabkan Daud berhasil menjalankan perannya sebagai bapa, sehingga janji Tuhan digenapi ? Salah satu penyebab utama keberhasilan Daud dalam menjalankan perannya sebagai bapa bagi Salomo adalah kecintaannya terhadap Taurat Tuhan. Daud mencintai Taurat Tuhan. Daud merenungkannya siang dan malam. Daud banyak menghabiskan waktunya berurusan dengan Taurat Tuhan. Tuhan telah berjanji mengenai takhta Daud, bahwa Ia akan membuatnya kokoh dan bertahan generasi demi generasi. Dan Salomo adalah orang yang mendapat kasih karunia serta dipilih Tuhan untuk menjadi orang pertama yang menduduki takhta Daud setelah Daud sendiri (ay.13). Bagaimana dengan para bapa saat ini ? Apakah kita begitu mencintai firman Tuhan ? Apakah kita banyak menghabiskan waktu kita mempelajari firmanNya ? Apakah kita melakukan banyak meditasi firman dalam kehidupan doa kita ? Tuhan tidak menuntut kesempurnaan kita sebagai seorang bapa, tetapi meminta kita untuk sungguh-sungguh mencintai firmanNya, agar janjiNya bagi kita dapat digenapi. Seorang bapa dalam suatu keluarga juga dapat dianugerahi “takhta Daud”, yaitu suatu anugerah untuk memerintah, melayani serta memberkati seluruh anggota keluarga. Seorang bapa yang menduduki “takhta Daud” ini seharusnya mengalami persiapan seperti yang dialami Daud sendiri. Seorang bapa yang telah mengalami disiplin Tuhan bertahun-tahun lamanya, akan dapat menjalankan “takhta Daud” dengan baik. Walaupun mungkin ia jatuh, tetapi Tuhan akan memulihkannya kembali. Jika “takhta Daud” ini dijalankan dengan baik, maka seluruh anggota keluarga akan diberkati. Jika tidak, tentu sebaliknya yang akan terjadi. Amin! (Pdt.Kristinus Unting)

Sabtu, 23 November 2013

SEPERTI UNTUK TUHAN

SEPERTI UNTUK TUHAN (Sabtu, 23 Nopember 2013)
Kolose 3:18-4:6

Apa yang dilakukan orang apabila ia menjadi orang baru di tempatnya bekerja? Tentu saja dia belajar menjadi orang baru. Belajar mengenal orang-orang di kantornya, belajar mengenal pimpinannya, belajar mengenal pekerjaannya, belajar mengenal situasinya dan sebagainya. Bagaimanaia belajar? Umumnya orang baru selalu terdorong menunjukkan yang terbaik dari dirinya. Yang terbaik itu misalnya; berbicara pelan, lebih banyak tersenyum, lebih banyak beramah-tamah, lebih banyak berdiam diri, lebih hati-hati melihat situasi dan lebih perhitungan dalam strategi.

Adakah hubungannya dengan nas dasar renungan hari ini? Ada. Pada nas ini Paulus menguraikan mengenai hubungan semua anggota dalam sebuah keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak-anak dan hamba (orang yang membantu bekerja dalam rumah tangga itu). Paulus menjelaskan bagaimana masing-masing anggota keluarga memandang dan saling memperlakukan satu sama lain. Isteri harus tunduk kepada suami (ay 18) dan suami harus mengasihi isteri dan tidak berlaku kasar kepadanya (ay 19). Anak harus taat kepada orang tua (ay 20) dan orang tua harus memberi dukungan yang mampu membesarkan hati anak-anaknya (ay 21). Hamba-hamba harus taat dan tulus melayani tuannya (ay 22 dst).

Baik di dalam keluarga maupun dalam tubuh Kristus, cara memperlakukan orang lain sebagaimana diuraikan Paulus bukanlah perkara gampang. Kalaupun bisa, kecenderungan yang terjadi karena lebih banyak dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan. Contoh: anak mau dimintai tolong oleh orang tuanya karena ingin uang jajannya ditambah atau isteri rela 100% mengurus rumah tangga kalau semua kebutuhannya dipenuhi suami. Dan banyak contoh lainnya yang dapat dimaknai bahwa sikap baik dilakukan karena ada upah dan pamrih. Yang satu mau berbuat baik kepada lain hampir tidak dikarenakan ketulusan dan motivasi yang murni karena kasih. Lalu, bagaimana itu bisa dilakukan dengan kemurnian dan ketulusan? Jawabnya: dengan cara dibarui. Bukankah sebelum menguraikan tentang cara memperlakukan anggota keluarga, Paulus berbicara mengenai manusia baru?

Pembaruan yang dimaksud adalah pembaruan spiritual. Jika spiritual baru, segala hal yang menyangkut dengan itu (mentalitas, pola berpikir, sikap dan tutur kata). Hanya dengan mengalami pembaruan setiap orang percaya mampu melakukan kebaikan dengan tulus. Karena spiritual yang dibarui adalah spiritual yang murni dan tidak bercacat. Spiritual seperti ini hanya diperoleh dengan hubungan intens dan baik dengan Tuhan. Jika tidak, perbuatan baik itu hanya semu. Kita bisa menilai setiap kebaikan yang kita lakukan selama ini. Karena dorongan spiritual yang murnikah atau dorongan kedaginganlah yang lebih murni? Jika dorongan kedagingan, maka wajarlah jika sampai hari ini iman, pengharapan, dan kasih yang kita miliki semua. Rasa syukur dan damai sejahterapun semu. Tidak murni. Tetapi jika karena dorongan spiritual, bersyukurlah, sebab karena itulah iman, pengharapan, dan kasih kita dibangun dan melahirkan rasa syukur dan damai sejahtera. Bisa kita bayangkan, apabila ini mendasari sikap kita terhadap sesama anggota keluarga di rumah dan di lingkungan gereja bahkan masyarakat di luar sana. Semua begitu indah dan penuh damai. Sikap inilah yang dikatakan Paulus: melakukan perbuatan baik kepada sesama seperti melakukannya kepada Tuhan. Perbuatan baik itu pasti dilakukan dengan rasa penghargaan, hormat, kasih dan ketaatan kepada Tuhan.

(Pdt. Merlyn,MTh, Dosen STAKN Palangka Raya)
SEPERTI UNTUK TUHAN (Sabtu, 23 Nopember 2013)

Kolose 3:18-4:6

Apa yang dilakukan orang apabila ia menjadi orang baru di tempatnya bekerja? Tentu saja dia belajar menjadi orang baru. Belajar mengenal orang-orang di kantornya, belajar mengenal pimpinannya, belajar mengenal pekerjaannya, belajar mengenal situasinya dan sebagainya. Bagaimanaia belajar? Umumnya orang baru selalu terdorong menunjukkan yang terbaik dari dirinya. Yang terbaik itu misalnya; berbicara pelan, lebih banyak tersenyum, lebih banyak beramah-tamah, lebih banyak berdiam diri, lebih hati-hati melihat situasi dan lebih perhitungan dalam strategi.

Adakah hubungannya dengan nas dasar renungan hari ini? Ada. Pada nas ini Paulus menguraikan mengenai hubungan semua anggota dalam sebuah keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak-anak dan hamba (orang yang membantu bekerja dalam rumah tangga itu). Paulus menjelaskan bagaimana masing-masing anggota keluarga memandang dan saling memperlakukan satu sama lain. Isteri harus tunduk kepada suami (ay 18) dan suami harus mengasihi isteri dan tidak berlaku kasar kepadanya (ay 19). Anak harus taat kepada orang tua (ay 20) dan orang tua harus memberi dukungan yang mampu membesarkan hati anak-anaknya (ay 21). Hamba-hamba harus taat dan tulus melayani tuannya (ay 22 dst).

Baik di dalam keluarga maupun dalam tubuh Kristus, cara memperlakukan orang lain sebagaimana diuraikan Paulus bukanlah perkara gampang. Kalaupun bisa, kecenderungan yang terjadi karena lebih banyak dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan. Contoh: anak mau dimintai tolong oleh orang tuanya karena ingin uang jajannya ditambah atau isteri rela 100% mengurus rumah tangga kalau semua kebutuhannya dipenuhi suami. Dan banyak contoh lainnya yang dapat dimaknai bahwa sikap baik dilakukan karena ada upah dan pamrih. Yang satu mau berbuat baik kepada lain hampir tidak dikarenakan ketulusan dan motivasi yang murni karena kasih. Lalu, bagaimana itu bisa dilakukan dengan kemurnian dan ketulusan? Jawabnya: dengan cara dibarui. Bukankah sebelum menguraikan tentang cara memperlakukan anggota keluarga, Paulus berbicara mengenai manusia baru?

Pembaruan yang dimaksud adalah pembaruan spiritual. Jika spiritual baru, segala hal yang menyangkut dengan itu (mentalitas, pola berpikir, sikap dan tutur kata).  Hanya dengan mengalami pembaruan setiap orang percaya mampu melakukan kebaikan dengan tulus. Karena spiritual yang dibarui adalah spiritual yang murni dan tidak bercacat. Spiritual seperti ini hanya diperoleh dengan hubungan intens dan baik dengan Tuhan. Jika tidak, perbuatan baik itu hanya semu. Kita bisa menilai setiap kebaikan yang kita lakukan selama ini. Karena dorongan spiritual yang murnikah atau dorongan kedaginganlah yang lebih murni? Jika dorongan kedagingan, maka wajarlah jika sampai hari ini iman, pengharapan, dan kasih yang kita miliki semua. Rasa syukur dan damai sejahterapun semu. Tidak murni. Tetapi jika karena dorongan spiritual, bersyukurlah, sebab karena itulah iman, pengharapan, dan kasih kita dibangun dan melahirkan rasa syukur dan damai sejahtera. Bisa kita bayangkan, apabila ini mendasari sikap kita terhadap sesama anggota keluarga di rumah dan di lingkungan gereja bahkan masyarakat di luar sana. Semua begitu indah dan penuh damai. Sikap inilah yang dikatakan Paulus: melakukan perbuatan baik kepada sesama seperti melakukannya kepada Tuhan. Perbuatan baik itu pasti dilakukan dengan rasa penghargaan, hormat, kasih dan ketaatan kepada Tuhan.

(Pdt.  Merlyn,MTh, Dosen STAKN Palangka Raya)

UNDANGAN KESELAMTAN

UNDANGAN KESELAMATAN (Renungan GKE - Minggu, 24 Nopember 2013)

Lukas 14:15-24

Pernahkah saudara mendapat undangan untuk menghadiri suatu acara panting? Undangan pasta ulang tahun, pengucapan syukur, pesta pernikahan, atau pun undangan-undangan penting lain misalnya? Saudara, barangkali kita pernah mendapatkan undangan-undangan semacam itu. Bahkan mungkin sering. Bila kita mendapatkan undangan itu artinya kita mendapat suatu penghargaan besar dari si pengundang. Semakin besar pengaruh atau status si pengundang maka semakin besar pula nilai penghargaan bagi yang diundang. Coba umpama bila yang mengundang itu adalah seorang jutawan atau seorang pejabat. Maka biasanya orang yang diundang adalah orang-orang yang dianggap pantas untuk diundang. Mana mungkin kira-kira ia mengundang orang-orang buta, orang timpang, orang gembel, orang yang korengan diharapkan menghadiri undangan. Coba pula misalnya bila si pengundang itu adalah seorang raja. Maka tentu orang yang diundangnya adalah orang-orang yang dianggap panting untuk diundang. Orang-orang yang dianggap terhormat tentu saja!

Bagaimana kira-kira andaikata kita sebagai orang biasa tau-tau mendapat undangan dari bapak Presiden untuk manghadiri undangan kenegaraan? Boleh jadi kita berkata: "mimpi apa aku semalam"? Tentu kita akan berupaya untuk datang karena peristiwa semacam itu tentulah suatu peristiwa yang tak terlupakan seumur hidup kita, sebuah kenang-kenangan yang berharga! Betapa tidak, apabila kita telah diundang dan mendapatkan suatu penghargaan besar tiada tara. Suatu penghargaan langka yang tidak mungkin didapat semua orang. Seumur hidup belum tentu semua orang mendapatkannya. Walaupun setiap orang mendambakannya. Saudara, bagaimana kira-kira bila hal tersebut memang benar-benar terjadi dalam kehidupan kita? Bagaimanakah sikap kita? Dan... maaf, bila mengingatkan, bahwa saudara dan saya memang benar-benar telah diundang. Ya, benar-benar juga diundang dalam pasta perkawinan. Ya, Sang Penguasa, raja di atas segala raja, Sang Mahakaya benar-benar mengundang kita dalam suasana pesta anak-Nya. Bagmana sikap kita?

Saudara, Ini adalah soal Kerajaan Sorga. Yang dipaparkan Yesus dalam nas ini, Yesus sendiri mengumpamakannya sama dengan seorang raja yang mengadakan perjamuan kawin untuk anak-Nya. Ia telah mengundang banyak orang ke pasta yang diadakan-Nya. Untuk bersama- sama bergembira. Tapi masalahnya, para undangan tidak dapat menghadiri pesta tersebut. Apa pasalnya? Mereka masing-masing punya alasan. Alasan yang memang tak dapat ditawar-tawar. Alasan yang memang juga tak boleh diremehkan! Ya, karena menyangkut keperluan hidup alias jaminan hidup. Yang bila diabaikan bisa fatal akibatnya! Untuk itulah mereka satu-persatu meminta maaf kepada si pengundang. Maaf karena urusan ladang. Maaf karena harus mengusrus usaha. Yang lain juga maaf.., karena barang sebentar bersenang menakmati kebahagiaan keluarga. Ya, maaf,., maaf. , , maaf ... Dan siapa yang mengatakan bahwa segala urusan mereka itu salah? Tidak, tidak salah! Masalahnya saudara, mereka tidak menyadari bahwa undangan tersebut teramat penting. Bahwa undangan itu bukanlah undangan biasa, tetapi dari sang baginda raja, yang bisa menentukan nasib seseorang!

Taukah saudara apa artinya bila undangan tersebut tak diindahkan? Mengertikah kita apabila sang baginda kecewa? Yang pasti bisa terjadi kesulitan bagi si diundang nantinya! Karena bila tak datang ke undangan raja boleh jadi dianggap suatu penghinaan bagi sang baginda. Bila ini sampai terjadi tentu malanglah nasib si orang yang tak mengindahkan undangan sang baginda. Padahal undangan semacam itu belum tentu terjadi kedua kali. Saudara, perumpamaan Yesus tentang hal Kerajaan sorga dalam nas ini masih ada kelanjutannya. Rupa-rupanya sang raja ini seorang yang murah hati. Walaupun para undangan istana itu mempunyai dalih yang bermacam-macam, bahkan sampai menangkap, menyiksa bahkan membunuh hamba-hamba utusannya. Namun ia tetap mengundang orang-orang untuk datang ke pestanya. Namun kali ini para undangannya bukan lah orang-orang terhormat. Pokoknya orang jahat, orang gembel, bandit, dan sebagainya diundang!

Saudara, apa yang mau dikatakan Yesus melalui perumpamaan dalam nas ini? Adalah orang-orang yang telah dipanggil menjadi pengikut-pengikut Kristus. Menjadi anggota jemaat warga Kerajaan Allah, tetapi masih tetap dalam dosanya. Dengan bermacam dalih mereka menolak undangan sorgawi. Nah, ini! Apabila hanya karena urusan perut, soal jamian hidup, atau juga masalah kebahagiaan hidup di alam fana ini kita menjadi sangat sibuk. Selalu sibuk. Terlalu sibuk. Dan akhirnya diperbudak oleh kesibukan. Dan persoalan yang diurus kesibukan tadi menjadi satu-satunya yang dianggap paling berharga. Menjadi satu-satunya tujuan hidup. Di sinilah celakanya! Apalagi bila karenanya kita sampai menganggap soal keselamatan menjadi tak ada artinya. Di sinilah bahayanya! Lalu akhirnya kita menjadi kehilangan makna hidup yang sesungguhnya. Untuk apa sebenarnya kita ada di tengah-tengah kehidupan ini. Apa yang mestinya dilakukan sebagai persiapan bila nanti memasuki alam yang di seberang sana?!

Saudara, kesibukan adalah bahaya nomor satu paling menggoda, yang dapat menjauhkan kita dari Tuhan. Sibuk itu sendiri sebenarnya tidaklah salah! Tetapi bila terlalu sibuk, nah inilah yang bisa berbahaya. Kita lalu seperti orang terkena bius. Lupa capek. Lupa sakit. Lupa hari-hari ajal kita yang makin mendekat. Akhirnya kita tidak menyadari untuk apa semua yang kita cari, kita kerjakan, kita usahakan dan kita peroleh bila malaikat maut keburu datang. Banyak orang meremehkan berkat, anugerah Tuhan dan lebih memilih hidup dalam dosa yang berujung pada maut. Inilah gambaran dari kehidupan banyak orang di masa sekarang yang selalu berfokus pada dirinya dan kepentingannya sendiri. Bahkan dengan berbagai dalih mereka berusaha menghindar dari Tuhan.

Dalam dunia rohani ada banyak orang seperti ini. Kelihatannya mereka mau datang kepada Yesus. Mereka mau diajak ke gereja, mau dibaptis, mau belajar Kitab Suci, mau melayani Tuhan, mau memberi persembahan dsb, tetapi waktu mereka betul-betul ditantang untuk datang kepada Yesus dan menerimaNya sebagai Juruselamat dan Tuhan, mereka menolak! Namun ada juga yang datang, tetapi tidak mau mengenakan pakaian pesta yang telah disediakan oleh Kristus. Yaitu "pakaian" kebenaran. Banyak orang menerima undangan untuk percaya kepada Yesus, tapi gagal untuk menanggalkan pakaian lama dan mengenakan pakaian Kerajaan Allah, banyak orang yang percaya kepada Yesus masih hidup dengan cara hidup dan pola pikir yang lama yang tidak sesuai dengan Firman Allah dan tidak hidup dalam ketaatan. Tidak sungguh-sungguh. Tidak serius! (bdk. Mat.22:11-14; Why. 3:18).

Jadi dalam nas ini ada dua pelajaran penting yang perlu kita perhatikan, ketika Tuhan mengundang Anda: soal kesungguhan, keseriusan kita dalam hal hidup keagamaan kita. Bahwa soal kesibukan janganlah sampai menggantikan hal-hal yang paling prinsip dalam hidup kita. Sedangkan yang berikutnya: bahwa soal hidup dalam kebenaran haruslah selalu diutamakan. Jangan dikesampingkan, Kita telah dikasihi oleh Allah melalui korban Kristus. Kita telah dianggap berharga dan telah diundang dalam sukacita sorgawi hanya semata oleh kasih Allah. Janganlah sampai kita sia-siakan atau mengabaikannya! Saudara, saat ini Tuhan mengundang kita untuk datang dan menikmati persekutuan bersama-Nya. Apakah Anda menyambut dan menerimanya dengan serius dan penuh sukacita? AMIN.

(Pdt.Kristinus Unting)

Jumat, 22 November 2013

Renungan Nats Almanak: KITALAH RAHAB

Renungan Nats Almanak: KITALAH RAHAB: KITALAH RAHAB (Kamis, 21Nopember 2013) Yosua 2:1-24 Tuhan dengan segala tindakanNya tidak dapat ditebak dengan indera manusi...

KITALAH RAHAB

KITALAH RAHAB (Kamis, 21Nopember 2013)
Yosua 2:1-24

Tuhan dengan segala tindakanNya tidak dapat ditebak dengan indera manusia. Ada-ada saja yang dilakukan Tuhan sebagai bagian dari pekerjaan penyelamatanNya. Kita sering berpikir bahwa orang-orang yang diperkenankan Tuhan sebagai alatNya atau hambaNya adalah orang baik dan benar. Memang apa yang dipikirkan manusia belum itu sama dengan pikiran Tuhan.

Begitulah yang dilakukan Tuhan ketika mereka akan merebut kota Yerikho. Pengintai yang diutus justru sampai ke rumah Rahab, seorang perempuan (yang bukan termasuk perempuan baik-baik apalagi terhormat) sundal. Dalam pribadi Rahab yang sundal itu tersimpan perilaku yang berani, santun, smart dalam bernegosiasi dan yang tidak kalah penting, dia takut akan Tuhan. Rahab pemberani karena ia mempertaruhkan nyawanya bukan hanya demi keselamatan hidup dua orang pengintai Israel tetapi kelangsungan hidup seluruh umat Israel yang menanti kabar di seberang sungai Yordan. Sikap santun Rahab nampak dalam caranya memperlakukan tamunya secara baik dan penuh penghargaan.

Negosiasi yang ditawarkan Rahab mengenai jaminan keselamatan dirinya dan seluruh keluarganya berhasil. Dan memang pada akhirnya ketika Israel merebut Yerikho, Rahab dan seluruh keluarganya mendapat perlindungan. Bagian yang terpenting adalah rasa takut Rahab kepada Tuhan. Ayat 11 bisa dikatakan sebagai pengakuan iman Rahab: “…sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah.” Ditampilkannya Rahab dalam cerita ini bukan melalui proses perubahan Rahab dari tidak baik menjadi baik barulah dipakai Tuhan. Tidak sama sekali. Rahab dipakai sebagaimana adanya dia: perempuan sundal, namun dengan segala kelebihan yang tersimpan di balik kesundalannya.

Kisah Rahab mengingatkan kita akan diri kita sendiri. Kita adalah kawanan orang yang hidup dengan noda dan dilumuri kelemahan. Dalam keadaan seperti ini kita sering menilai bahwa diri kita tidak memiliki arti. Tidak salah. Lihatlah bagaimana cara manusia dengan derajat tinggi memandang dan memperlakukan sesamanya yang tidak sederajat dengannya. Karena perlakuan itu, orang dengan derajat rendah pun memandang dan menilai rendah dirinya sendiri. Orang yang rendah tidak akan “terpakai” di dalam dunia ini. Akan tetapi, pandangan Tuhan justru sebaliknya. Sehina-hina dan serendah-rendahnya manusia papa di hadapan sesama manusia, bagi Tuhan dia adalah harta yang berharga.

Dengan otoritasNya, Tuhan bisa melakukan apa saja menurut kemauanNya, termasuk memakai manusia hina menjadi alatNya. Tuhan mampu mempekerjakan manusia meski tanpa tangan,Tuhan mampu mengkaryakan orang buta meski tidak melihat, Tuhan mampu memberdayakan manusia dengan mental terbelakang meski dijauhi, diabaikan dan sebagainya. Tuhan mampu membuat manusia yang dalam pandangan manusia lain dipandang tidak berguna menjadi jauh lebih berdayaguna dibanding manusia normal dan terpandang. Kitalah manusia-manusia itu. Dalam ketidakberdayaan dan ketidakmampuan kita, Tuhan selalu memakai kita menjadi alatNya dan hambaNya. Sebab itu kita patut bersyukur dan mengaku iman kepada Tuhan bahwa kita ada sebagaimana kita ada saat ini karena Tuhan memakai kita. Dan tetaplah yakin bahwa esokpun Tuhan masih mau memakai kita.

(Pdt. Merilyn, MTh, Dosen STAKN Palangka Raya).
KITALAH RAHAB (Kamis, 21Nopember 2013)

Yosua 2:1-24

Tuhan dengan segala tindakanNya tidak dapat ditebak dengan indera manusia. Ada-ada saja yang dilakukan Tuhan sebagai bagian dari pekerjaan penyelamatanNya. Kita sering berpikir bahwa orang-orang yang diperkenankan Tuhan sebagai alatNya atau hambaNya adalah orang baik dan benar. Memang apa yang dipikirkan manusia belum itu sama dengan pikiran Tuhan.

Begitulah yang dilakukan Tuhan ketika mereka akan merebut kota Yerikho. Pengintai yang diutus justru sampai ke rumah Rahab, seorang perempuan (yang bukan termasuk perempuan baik-baik apalagi terhormat) sundal. Dalam pribadi Rahab yang sundal itu tersimpan perilaku yang berani, santun, smart dalam bernegosiasi dan yang tidak kalah penting, dia takut akan Tuhan. Rahab pemberani karena ia mempertaruhkan nyawanya bukan hanya demi keselamatan hidup dua orang pengintai Israel tetapi kelangsungan hidup seluruh umat Israel yang menanti kabar di seberang sungai Yordan. Sikap santun Rahab nampak dalam caranya memperlakukan tamunya secara baik dan penuh penghargaan. 

Negosiasi yang ditawarkan Rahab mengenai jaminan keselamatan dirinya dan seluruh keluarganya berhasil. Dan memang pada akhirnya ketika Israel merebut Yerikho, Rahab dan seluruh keluarganya mendapat perlindungan. Bagian yang terpenting adalah rasa takut Rahab kepada Tuhan. Ayat 11 bisa dikatakan sebagai pengakuan iman Rahab: “…sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah.” Ditampilkannya Rahab dalam cerita ini bukan melalui proses perubahan Rahab dari tidak baik menjadi baik barulah dipakai Tuhan. Tidak sama sekali. Rahab dipakai sebagaimana adanya dia: perempuan sundal, namun dengan segala kelebihan yang tersimpan di balik kesundalannya.

Kisah Rahab mengingatkan kita akan diri kita sendiri. Kita adalah kawanan orang yang hidup dengan noda dan dilumuri kelemahan. Dalam keadaan seperti ini kita sering menilai bahwa diri kita tidak memiliki arti. Tidak salah. Lihatlah bagaimana cara manusia dengan derajat tinggi memandang dan memperlakukan sesamanya yang tidak sederajat dengannya. Karena perlakuan itu, orang dengan derajat rendah pun memandang dan menilai rendah dirinya sendiri. Orang yang rendah tidak akan “terpakai” di dalam dunia ini. Akan tetapi, pandangan Tuhan justru sebaliknya. Sehina-hina dan serendah-rendahnya manusia papa di hadapan sesama manusia, bagi Tuhan dia adalah harta yang berharga. 

Dengan otoritasNya, Tuhan bisa melakukan apa saja menurut kemauanNya, termasuk memakai manusia hina menjadi alatNya. Tuhan mampu mempekerjakan manusia meski tanpa tangan,Tuhan mampu mengkaryakan orang buta meski tidak melihat, Tuhan mampu memberdayakan manusia dengan mental terbelakang meski dijauhi, diabaikan dan sebagainya. Tuhan mampu membuat manusia yang dalam pandangan manusia lain dipandang tidak berguna menjadi jauh lebih berdayaguna dibanding manusia normal dan terpandang. Kitalah manusia-manusia itu. Dalam ketidakberdayaan dan ketidakmampuan kita, Tuhan selalu memakai kita menjadi alatNya dan hambaNya. Sebab itu kita patut bersyukur dan mengaku iman kepada Tuhan bahwa kita ada sebagaimana kita ada saat ini karena Tuhan memakai kita. Dan tetaplah yakin bahwa esokpun Tuhan masih mau memakai kita.

(Pdt. Merilyn, MTh, Dosen STAKN Palangka Raya).

BELAJARLAH DARI KAUM ANAK

BELAJARLAH DARI KAUM ANAK (Jumat, 22 Nopember 2013)
Yohanes 6:1-15

Dalam sebuah kesempatan melayani ibadah minggu, saat menyalami jemaat yang keluar dari gedung gereja, seorang anak menyela barisan jemaat dan menyodorkan tangannya menyalami saya. Akan tetapi, seorang ibu, entah karena merasa geli dengan sikap anak ini atau kurang menyukai barisannya disela, mengatakan begini dalam bahasa Ngaju: “Ceh, paumba arepe kea anak jituh.” Saya tersenyum saja, tetapi beberapa saat setelahnya, memahami bahwa ucapan tadi menyimpan sebuah nilai, nilai yang diberikan kaum dewasa kepada kaum anak. Sederhananya hendak mengatakan bahwa anak tidak sepenting orang dewasa. Nilai dan harga kaum anak beberapa level lebih rendah daripada kaum dewasa.

Nas hari ini sudah sangat biasa bagi kita di mana Yesus melakukan mujizat membuat lima roti dan dua ikan mampu mengenyangkan sebanyak 5000 orang. Bukan sim salabim adakabra, bukan sulap bukan pula sihir, melainkan hanya dengan doa. Terjadilah mujizat. Mujizat yang amat luar biasa. Akan tetapi, Yohanes mengisahkan versi yang lain yang justru memberikan makna lebih dalam kisah mujizat ini. Yohanes menyebutkan mengenai seorang anak yang membawa lima roti jelai dan dua ikan, tetapi tidak memakannya sendiri, melainkan menyerahkannya untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Awalnya, bekal anak ini diremehkan oleh murid Yesus dengan mengatakan: “tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?”

Melalui kisah ini Yohanes hendak mengangkat sisi lain, yang bagi orang kebanyakan pada jamannya sangat tidak penting, tidak dianggap, dan remeh-temeh, yakni kaum anak dan segala tindakannya. Kata orang, anak kurang memiliki sikap sosial yang baik dan terlalu egois sehingga sulit berbagi. Akan tetapi pendapat Yohanes berbeda. Kalau bukan karena anak (yang anonim) ini menyerahkan bekalnya, mustahil semua orang dapat dikenyangkan. Dan Yesus, siapapun pemilik roti jelai dan ikan itu dan seberapapun jumlahnya, tetap dihargaiNya dan dipakaiNya.

Sampai hari ini gereja dengan semua sistem penatalayannya dilakukan dengan gaya kaum dewasa. Bukan hanya itu, pelayananpun lebih banyak diberikan bagi kebutuhan kaum dewasa saja. Seolah gereja hanya milik dan untuk kaum dewasa. Gereja telah melumuri penatalayannya dengan politik kepentingan yang akibatnya pekerjaan gereja menjadi kehilangan kemurnian spiritualnya. Gereja telah mengabaikan aspek lain yang sama-sama penting dan berpengaruh dalam sistem penatalayanannya, yakni gaya kaum anak. Gaya yang bagaimana? Kemurnian spiritual mereka. Bagian ini telah memudar dalam gereja. Itu sebabnya gereja kurang mampu melihat nilai pendapat yang kecil, sumbangan yang kecil, persekutuan kaum kecil, orang-orang kecil (baca: tidak berharta, berkedudukan, bernama) sampai kepada kaum anak karena mereka kecil (baca: belia). Padahal Yesus lebih memuji kemurnian spiritual sebagaimana dimiliki kaum anak dibanding kaum dewasa. “…Sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat. 19:14). Maka, belajarlah dari kaum anak. Belajarlah dari kemurnian mereka.

(Pdt. Merilyn, MTh, Dosen STAKN Palangka Raya)
BELAJARLAH DARI KAUM ANAK (Jumat, 22 Nopember 2013)

Yohanes 6:1-15

Dalam sebuah kesempatan melayani ibadah minggu, saat menyalami jemaat yang keluar dari gedung gereja, seorang anak menyela barisan jemaat dan menyodorkan tangannya menyalami saya. Akan tetapi, seorang ibu, entah karena merasa geli dengan sikap anak ini atau kurang menyukai barisannya disela, mengatakan begini dalam bahasa Ngaju: “Ceh, paumba arepe kea anak jituh.” Saya tersenyum saja, tetapi beberapa saat setelahnya, memahami bahwa ucapan tadi menyimpan sebuah nilai, nilai yang diberikan kaum dewasa kepada kaum anak. Sederhananya hendak mengatakan bahwa anak tidak sepenting orang dewasa. Nilai dan harga kaum anak beberapa level lebih rendah daripada kaum dewasa.

Nas hari ini sudah sangat biasa bagi kita di mana Yesus melakukan mujizat membuat lima roti dan dua ikan mampu mengenyangkan sebanyak 5000 orang. Bukan sim salabim adakabra, bukan sulap bukan pula sihir, melainkan hanya dengan doa. Terjadilah mujizat. Mujizat yang amat luar biasa. Akan tetapi, Yohanes mengisahkan versi yang lain yang justru memberikan makna lebih dalam kisah mujizat ini. Yohanes menyebutkan mengenai seorang anak yang membawa lima roti jelai dan dua ikan, tetapi tidak memakannya sendiri, melainkan menyerahkannya untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Awalnya, bekal anak ini diremehkan oleh murid Yesus dengan mengatakan: “tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?”

Melalui kisah ini Yohanes hendak mengangkat sisi lain, yang bagi orang kebanyakan pada jamannya sangat tidak penting, tidak dianggap, dan remeh-temeh, yakni kaum anak dan segala tindakannya. Kata orang, anak kurang memiliki sikap sosial yang baik dan terlalu egois sehingga sulit berbagi. Akan tetapi pendapat Yohanes berbeda. Kalau bukan karena anak (yang anonim) ini menyerahkan bekalnya, mustahil semua orang dapat dikenyangkan. Dan Yesus, siapapun pemilik roti jelai dan ikan itu dan seberapapun jumlahnya, tetap dihargaiNya dan dipakaiNya.

Sampai hari ini gereja dengan semua sistem penatalayannya dilakukan dengan gaya kaum dewasa. Bukan hanya itu, pelayananpun lebih banyak diberikan bagi kebutuhan kaum dewasa  saja. Seolah gereja hanya milik dan untuk kaum dewasa. Gereja telah melumuri penatalayannya dengan politik kepentingan yang akibatnya pekerjaan gereja menjadi kehilangan kemurnian spiritualnya. Gereja telah mengabaikan aspek lain yang sama-sama penting dan berpengaruh dalam sistem penatalayanannya, yakni gaya kaum anak. Gaya yang bagaimana? Kemurnian spiritual mereka. Bagian ini telah memudar dalam gereja. Itu sebabnya gereja kurang mampu melihat nilai pendapat yang kecil, sumbangan yang kecil, persekutuan kaum kecil, orang-orang kecil (baca: tidak berharta, berkedudukan, bernama) sampai kepada kaum anak karena mereka kecil (baca: belia). Padahal Yesus lebih memuji kemurnian spiritual sebagaimana dimiliki kaum anak dibanding kaum dewasa. “…Sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat. 19:14). Maka, belajarlah dari kaum anak. Belajarlah dari kemurnian mereka.

(Pdt. Merilyn, MTh, Dosen STAKN Palangka Raya)