HIDUP DALAM KEMERDEKAAN SEJATI (ROMA, 6:15-23)
Setiap orang pasti dalam hidupnya mendambakan kemerdekaan, pertanyaannya sekarang adalah apakah benar orang yang hidup di negara merdeka itu merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya? Sayangnya, tidaklah demikian sebab masih banyak orang yang hidup di dalam keterpurukan dan kemiskinan maka undang-undang dasar negara yang berbunyi: menyejahterahkan rakyat adil dan makmur hanyalah impian belaka. Kemerdekaan sejati dan sempurna akan kita dapatkan ketika kita hidup dalam perhambaan Kristus Yesus dimana Kristus yang menjadi Tuannya. Inilah misteri yang sukar dimengerti oleh logika manusia karena hari ini, manusia berpikir bahwa merdeka berati tidak ada orang yang menguasai diriku. Salah! Kemerdekaan sejati adalah lepas dari belenggu iblis yang telah memperbudak kita supaya hidup dalam dosa. Iblis tidak akan lagi turut bekerja dalam kehidupan kita ketika kita sudah dibebaskan dari perhambaan dosa namun hati-hati, iblis akan selalu menggoda supaya orang terjerat dalam perbudakan dosa.
Tidak ada seorang pun manusia yang dengan kekuatannya sendiri dapat mencapai kesempurnaan bahkan seorang seperti Paulus pun tidak, begitu juga dengan seorang pemimpin muda kaya yang katanya “sudah“ melakukan seluruh hukum Taurat ternyata tidaklah demikian, ia langsung pergi meninggalkan Yesus ketika Tuhan memerintahkan untuk menjual hartanya dan mengikut Dia. Hanya Kristus, satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup. Allah telah menjadi manusia untuk memulihkan hubungan kita dengan Allah – kuasa maut telah dipatahkan, hanya Yesus Kristus yang dapat memerdekakan kita dari kuasa dosa, sekarang kita tidak lagi hidup di bawah hukum Taurat tetapi di bawah kasih karunia (Rm. 6:14). Kalau kita telah dibebaskan dari dosa bukan supaya kita bebas berbuat dosa karena tersedia pengampunan yang limpah. Tidak! kIta dibebaskan dari dosa supaya melakukan apa yang benar dan Tuhan berkenan, karena:
I. Kita adalah hamba Kristus,
Kita telah dilepaskan oleh Yesus Kristus dari perhambaan dosa dan kini beralih menjadi hamba-Nya. Dunia berpendapat bahwa merdeka berarti lepas dari segala belenggu kekuasaan dan perbudakan. Alkitab menegaskan bahwa setelah kita dibebaskan dari perbudakan dosa, kita tidak akan dibiarkan sendiri di tengah dunia ini dan menjadi tuan atas diri sendiri, tidak, sebaliknya kita telah dimerdekakan dari dosa untuk berpindah dalam suatu perbudakan yang baru (Rm. 6:18,22). Seorang budak tidak lagi berkuasa atas dirinya bahkan nyawanya sekalipun. Seorang budak haruslah taat pada perintah tuannya sekalipun si tuan memimpin dalam dosa menuju kematian maupun dalam ketaatan yang memimpin pada kebenaran, kita tetap harus taat (Rm. 6:16) maka seorang budak tidak boleh menyembah pada dua tuan. Inilah prinsip perbudakan. Rasul Paulus mengungkapkan kondisi kita antara dulu dan sekarang; dulu – hamba dosa, sekarang – hamba kebenaran namun tidak berhenti sampai di situ, ada perintah yang kita lakukan setelah menjadi hamba kebenaran, yakni menyerahkan anggota tubuh kita menjadi hamba kebenaran yang membawa kepada pengudusan (Rm. 6:19).
Di dunia ada dua macam perbudakan, yakni: 1) perbudakan dosa yang membawa kita kepada kematian, Dia memerdekakan kita untuk satu tujuan mulia supaya kita menjadi hamba Allah yang melakukan kebenaran yang sesuai dengan kehendak Allah, 2) perhambaan yang memerdekakan, kemerdekaan sejati justru ada ketika kita menjadi hamba Kristus. Hari ini, banyak orang Kristen tidak memahami konsep perhambaan yang diajarkan oleh Alkitab, sebagai contoh istilah hamba Tuhan dikenakan hanya untuk orang-orang tertentu yang mempunyai jabatan kerohanian padahal istilah hamba Tuhan tidak hanya sebatas itu, setiap anak Tuhan adalah hamba maka untuk lebih jelasnya kita akan memahami konsep hamba yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dan Paulus.
Pertama, Dalam Injil Yohanes pasalnya yang ke-15, Tuhan Yesus tidak menyebut kita sebagai hamba tetapi sahabat, disini Tuhan Yesus ingin menekankan suatu relasi yang erat antara tuan dan hambanya namun bukan berarti Dia meniadakan konsep hamba. Tidak! Sebab dalam perumpamaan tentang uang mina, Tuhan Yesus sendiri menyebut dua orang tersebut sebagai hamba. Tuhan Yesus juga mengajarkan bahwa apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan (Luk. 17:10). Kepada para murid, Tuhan Yesus juga menegaskan bahwa barang siapa ingin menjadi terbesar maka hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Tuhan Yesus sendiri telah memberikan teladan indah, Dia yang adalah Raja atas segala raja datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mrk. 10:44-45). Biarlah hal ini menyadarkan kita, di hadapan Tuhan kita bukanlah siapa-siapa kita hanyalah seorang hamba, jadi, jangan ada seorangpun yang memegahkan diri.
Kedua, Dalam surat-suratnya Paulus menyebut dirinya sebagai hamba Allah namun pada surat Galatia 4:7, Paulus mengatakan bahwa kita bukan lagi hamba tetapi anak,... dalam hal ini Paulus bukan meniadakan konsep hamba. Tidak! Kita harus berhati-hati dalam membaca firman Tuhan sebab kemampuan kita sangatlah terbatas, pikiran Tuhan lebih tinggi dari pikiran manusia namun ironisnya, manusia berani menafsir secara sembarangan bahkan berani mempertentangkan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Demikian juga “hamba“ yang dimaksud dalam Gal. 4:7 bukanlah hamba dengan pengertian yang negatif, yakni seorang hamba yang berada di bawah hukum Taurat sehingga tidak beroleh keselamatan. Tidak! Rasul Paulus tanpa ragu menyatakan dirinya sebagai hamba Allah (Rm. 6:22), “hamba“ di sini mempunyai pengertian positif, yakni sebagai orang-orang yang dilepaskan dari perbudakan lama untuk masuk dalam perbudakan baru yang memerdekakan dan memberikan vitalitas rohani. Jadi, jelaslah bahwa tidak ada satu ayat pun dalam Alkitab yang bertentangan. Menurut sejarah, surat Galatia ditulis lebih dahulu dari pada surat Roma dimana surat Roma ini semacam kompendium atau pemaparan teologia yang di dalamnya penuh dengan kekayaan rohani maka dalam surat Roma ini, Rasul Paulus menegaskan kembali konsep hamba yang sebelumnya dipaparkan dalam surat Galatia sebagai sesuatu rahasia rohani yang sangat penting bagi orang Kristen supaya orang tidak menjadi salah.
Ketiga, Perhambaan adalah realitas kehidupan manusia sebab tidak ada satu pun manusia di dunia yang tidak menjadi hamba, manusia dihadapkan pada dua pilihan, yakni menjadi hamba iblis atau hamba Allah. Hamba atau budak berasal dari bahasa Yunani, yaitu doulos. Nietzche berpendapat kalau Kekristenan adalah agama yang sangat negatif yang melemahkan jiwa manusia karena mengajarkan mentalitas dan etika budak. Pendapat yang gila ini muncul karena dalam perjalanan hidupnya, Nietzche banyak dipengaruhi oleh Richard Wagner, seorang filsuf aliran liberal maka Francis Schaefer menyebut kegilaan Nietzche sebagai kegilaan filosofis sebagai konsekuensi dari filosofinya yang menemui jalan buntu. Dulu, manusia adalah hamba dosa dan sekarang, kita dibebaskan dari perbudakan iblis untuk dibawa masuk dalam perbudakan yang baru namun dalam perbudakan yang baru ini kita justru mendapatkan kemerdekaan.
Bagi Rasul Paulus menjadi hamba Kristus merupakan suatu sukacita sebab Sang Tuan memperbudak dengan kasih sayang, Sang Tuan ini rela menyerahkan nyawa-Nya demi untuk budaknya. Hanya Kristus satu-satunya yang memperbudak umat-Nya tanpa menghancurkan tetapi justru memberikan kemerdekaan. Tanpa pencerahan Roh Kudus, konsep paradoks, perbudakan yang memerdekakan sangatlah sukar untuk dimengerti manusia. Abraham Lincoln, seorang yang menentang keras sistem perbudakan, suatu hari ia membeli seorang budak wanita untuk kemudian dibebaskan. Seharusnya, si budak ini merasakan sukacita karena ia mendapatkan kemerdekaan yang pada umumnya sangat didambakan oleh orang lain namun ironis, si budak ini tidak merasa gembira, ia mengikuti kemanapun Lincoln pergi karena ia tahu, justru berada di dalam tangan sang tuan ini, ia akan mendapatkan kemerdekaan. Dan si budak ini pastilah melayani tuannya dengan sepenuh hati, bukan sekedar formalitas belaka. Puji Tuhan, Allah kita lebih daripada Abraham Lincoln, Dia rela memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi kita dan takkan pernah kita ditinggalkannya sendiri, Dia selalu menuntun langkah hidup kita menuju kehidupan yang lebih baik, yakni kehidupan kekal. Merupakan suatu kebodohan kalau manusia yang merasa diri “pandai“ memutuskan untuk berjalan sendiri tanpa pimpinan Tuhan. Keputusan ada di tangan kita, manakah yang akan kita pilih kebebasan yang mematikan ataukan perbudakan yang penuh dengan kasih sayang? Sebab apalah artinya kemerdekaan kalau kita justru tidak merasakan kemerdekaan tapi yang ada hanyalah perbudakan bukankah kita lebih memilih yang namanya perbudakan tapi di dalamnya kita justru merasakan kasih sayang yang berlimpah kita.
II. Kita adalah milik Kristus sepenuhnya.
Seorang budak hanya boleh memiliki satu tuan saja maka kalau kita menjadi budak Kristus maka sepenuhnya kita harus mengabdi pada Kristus yang adalah Tuan; Kristus berkuasa penuh atas kita. Di bawah otoritas Tuhan, kita akan merasakan kemerdekaan yang sejati. Kalau seratus persen diri kita sudah menjadi milik Tuhan maka tidak ada lagi tuan lain yang berhak memiliki kita. Perbudakan itu termasuk juga kita diperbudak orang lain baik secara rohani, jasmani, maupun psikologis dan tanpa sadar, seringkali kita membiarkan orang lain mengendalikan diri kita, hati-hati karena itu menghancurkan integritas dan rohani kita. Dalam hal ini Saul telah gagal, ia lebih takut rakyat daripada Tuhan dalam hal mempersembahkan korban. Hal yang sama juga dilakukan oleh Petrus, ia tidak bertindak tegas di hadapan orang kafir, ia justru lebih memilih duduk dan semeja dengan orang kafir sampai Paulus, seorang Rasul yang junior menegurnya dengan keras. Keberanian Paulus menegur Petrus yang lebih senior pastilah datang dari Tuhan sebab jikalau tidak maka itu menjadi dosa kecongkakan. Bahkan demi untuk menyenangkan hati Tuhan, Paulus tidak takut sekalipun ia harus berhadapan dengan seorang malaikat sorga (Gal. 1:8-10). Seorang yang sudah menjadi milik Kristus maka tidak ada kuasa lain yang dapat mengontrol hidupnya karena Kristus yang mengontrol hidupnya. Setelah dilepaskan dari hamba dosa, Paulus menegaskan kita adalah hamba kebenaran maka seharusnya kita tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah bahkan jangan sekali-kali ada kata “kejahatan“ yang ada dalam pikiran kita. Biarlah kita dipakai menjadi saksi Tuhan sehingga jangan karena sikap dan tindakan kita maka nama Tuhan dipermalukan. Biarlah kita bertekad yakni segala perbuatan yang kita lakukan hanyalah untuk kebenaran (2Kor. 13:8), asal nama Tuhan saja yang dipermuliakan maka kita rela harus menanggung rugi dan malu.
Kedua, Orang yang menjadi budak dari Tuhan maka haruslah terlepas dari ego (2Kor. 4:5). Rasul Paulus, seorang yang dipakai Tuhan dengan sangat luar biasa namun ia tidak bermegah diri. Satu hal yang menjadi prinsip Paulus asal Salib Kristus diberitakan maka diri tidak berarti apa-apa bahkan ketika orang mengata-ngatai tentang hal-hal yang buruk tentang dirinya dan menganiaya dirinya, ia tidak peduli. Paulus menyadari kalau dirinya hanyalah seorang hamba Kristus, ia tidak mencari hak-hak atas dirinya dan ingin memegahkan dirinya, ia rela haknya diinjak-injak demi nama Kristus dimuliakan sebab ia menyadari hanya Yesus saja yang layak dan berhak menerima segala pujian dan hormat.
Ketiga, Bagi Paulus, kemerdekaan di dalam Kristus memberikan kemampuan dan kebebasan untuk menjadikan dirinya budak orang lain (1Kor. 9:19). Manusia bukanlah makhluk yang sempurna maka berada di bawah kendali manusia pastilah tidaklah mengenakkan kecuali anugerah Tuhan ada atas diri orang itu, orang menyadari bahwa dirinya juga adalah hamba maka segala sesuatu yang ia kerjakan tidak akan semena-mena, ia tidak akan menguntungkan dirinya sendiri. Hati-hati, dalam hal memberi pun hendaklah kita mengevaluasi diri, apa yang menjadi motivasi kita memberi? Apakah benar demi untuk kemuliaan Tuhan ataukah demi untuk kemuliaan diri? Kitab Amsal mengungkapkan orang dapat berbuat baik karena pertama-tama mereka mempersembahkan diri pada Tuhan barulah mereka mengalirkan berkat-berkat pada orang lain. Rasul Paulus adalah seorang yang bebas dan ia memakai kebebasannya tersebut untuk melayani Tuhan. Rasul Paulus dipakai Tuhan dengan sangat luar biasa karena ia adalah hamba Kristus yang takut akan Tuhan dan tidak berkompromi dengan dosa dan yang melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan saja. Kita telah dibebaskan dari dosa bukan untuk menjadi orang yang mandiri tanpa ada penguasaan maka hancurlah hidup kita. Kita di bawah dalam suatu perbudakan yang penuh kasih sayang, perbudakan yang memerdekakan. Amin... Sadur dari Khotbah Ev. Salomo Yo....
Setiap orang pasti dalam hidupnya mendambakan kemerdekaan, pertanyaannya sekarang adalah apakah benar orang yang hidup di negara merdeka itu merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya? Sayangnya, tidaklah demikian sebab masih banyak orang yang hidup di dalam keterpurukan dan kemiskinan maka undang-undang dasar negara yang berbunyi: menyejahterahkan rakyat adil dan makmur hanyalah impian belaka. Kemerdekaan sejati dan sempurna akan kita dapatkan ketika kita hidup dalam perhambaan Kristus Yesus dimana Kristus yang menjadi Tuannya. Inilah misteri yang sukar dimengerti oleh logika manusia karena hari ini, manusia berpikir bahwa merdeka berati tidak ada orang yang menguasai diriku. Salah! Kemerdekaan sejati adalah lepas dari belenggu iblis yang telah memperbudak kita supaya hidup dalam dosa. Iblis tidak akan lagi turut bekerja dalam kehidupan kita ketika kita sudah dibebaskan dari perhambaan dosa namun hati-hati, iblis akan selalu menggoda supaya orang terjerat dalam perbudakan dosa.
Tidak ada seorang pun manusia yang dengan kekuatannya sendiri dapat mencapai kesempurnaan bahkan seorang seperti Paulus pun tidak, begitu juga dengan seorang pemimpin muda kaya yang katanya “sudah“ melakukan seluruh hukum Taurat ternyata tidaklah demikian, ia langsung pergi meninggalkan Yesus ketika Tuhan memerintahkan untuk menjual hartanya dan mengikut Dia. Hanya Kristus, satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup. Allah telah menjadi manusia untuk memulihkan hubungan kita dengan Allah – kuasa maut telah dipatahkan, hanya Yesus Kristus yang dapat memerdekakan kita dari kuasa dosa, sekarang kita tidak lagi hidup di bawah hukum Taurat tetapi di bawah kasih karunia (Rm. 6:14). Kalau kita telah dibebaskan dari dosa bukan supaya kita bebas berbuat dosa karena tersedia pengampunan yang limpah. Tidak! kIta dibebaskan dari dosa supaya melakukan apa yang benar dan Tuhan berkenan, karena:
I. Kita adalah hamba Kristus,
Kita telah dilepaskan oleh Yesus Kristus dari perhambaan dosa dan kini beralih menjadi hamba-Nya. Dunia berpendapat bahwa merdeka berarti lepas dari segala belenggu kekuasaan dan perbudakan. Alkitab menegaskan bahwa setelah kita dibebaskan dari perbudakan dosa, kita tidak akan dibiarkan sendiri di tengah dunia ini dan menjadi tuan atas diri sendiri, tidak, sebaliknya kita telah dimerdekakan dari dosa untuk berpindah dalam suatu perbudakan yang baru (Rm. 6:18,22). Seorang budak tidak lagi berkuasa atas dirinya bahkan nyawanya sekalipun. Seorang budak haruslah taat pada perintah tuannya sekalipun si tuan memimpin dalam dosa menuju kematian maupun dalam ketaatan yang memimpin pada kebenaran, kita tetap harus taat (Rm. 6:16) maka seorang budak tidak boleh menyembah pada dua tuan. Inilah prinsip perbudakan. Rasul Paulus mengungkapkan kondisi kita antara dulu dan sekarang; dulu – hamba dosa, sekarang – hamba kebenaran namun tidak berhenti sampai di situ, ada perintah yang kita lakukan setelah menjadi hamba kebenaran, yakni menyerahkan anggota tubuh kita menjadi hamba kebenaran yang membawa kepada pengudusan (Rm. 6:19).
Di dunia ada dua macam perbudakan, yakni: 1) perbudakan dosa yang membawa kita kepada kematian, Dia memerdekakan kita untuk satu tujuan mulia supaya kita menjadi hamba Allah yang melakukan kebenaran yang sesuai dengan kehendak Allah, 2) perhambaan yang memerdekakan, kemerdekaan sejati justru ada ketika kita menjadi hamba Kristus. Hari ini, banyak orang Kristen tidak memahami konsep perhambaan yang diajarkan oleh Alkitab, sebagai contoh istilah hamba Tuhan dikenakan hanya untuk orang-orang tertentu yang mempunyai jabatan kerohanian padahal istilah hamba Tuhan tidak hanya sebatas itu, setiap anak Tuhan adalah hamba maka untuk lebih jelasnya kita akan memahami konsep hamba yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dan Paulus.
Pertama, Dalam Injil Yohanes pasalnya yang ke-15, Tuhan Yesus tidak menyebut kita sebagai hamba tetapi sahabat, disini Tuhan Yesus ingin menekankan suatu relasi yang erat antara tuan dan hambanya namun bukan berarti Dia meniadakan konsep hamba. Tidak! Sebab dalam perumpamaan tentang uang mina, Tuhan Yesus sendiri menyebut dua orang tersebut sebagai hamba. Tuhan Yesus juga mengajarkan bahwa apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan (Luk. 17:10). Kepada para murid, Tuhan Yesus juga menegaskan bahwa barang siapa ingin menjadi terbesar maka hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Tuhan Yesus sendiri telah memberikan teladan indah, Dia yang adalah Raja atas segala raja datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mrk. 10:44-45). Biarlah hal ini menyadarkan kita, di hadapan Tuhan kita bukanlah siapa-siapa kita hanyalah seorang hamba, jadi, jangan ada seorangpun yang memegahkan diri.
Kedua, Dalam surat-suratnya Paulus menyebut dirinya sebagai hamba Allah namun pada surat Galatia 4:7, Paulus mengatakan bahwa kita bukan lagi hamba tetapi anak,... dalam hal ini Paulus bukan meniadakan konsep hamba. Tidak! Kita harus berhati-hati dalam membaca firman Tuhan sebab kemampuan kita sangatlah terbatas, pikiran Tuhan lebih tinggi dari pikiran manusia namun ironisnya, manusia berani menafsir secara sembarangan bahkan berani mempertentangkan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Demikian juga “hamba“ yang dimaksud dalam Gal. 4:7 bukanlah hamba dengan pengertian yang negatif, yakni seorang hamba yang berada di bawah hukum Taurat sehingga tidak beroleh keselamatan. Tidak! Rasul Paulus tanpa ragu menyatakan dirinya sebagai hamba Allah (Rm. 6:22), “hamba“ di sini mempunyai pengertian positif, yakni sebagai orang-orang yang dilepaskan dari perbudakan lama untuk masuk dalam perbudakan baru yang memerdekakan dan memberikan vitalitas rohani. Jadi, jelaslah bahwa tidak ada satu ayat pun dalam Alkitab yang bertentangan. Menurut sejarah, surat Galatia ditulis lebih dahulu dari pada surat Roma dimana surat Roma ini semacam kompendium atau pemaparan teologia yang di dalamnya penuh dengan kekayaan rohani maka dalam surat Roma ini, Rasul Paulus menegaskan kembali konsep hamba yang sebelumnya dipaparkan dalam surat Galatia sebagai sesuatu rahasia rohani yang sangat penting bagi orang Kristen supaya orang tidak menjadi salah.
Ketiga, Perhambaan adalah realitas kehidupan manusia sebab tidak ada satu pun manusia di dunia yang tidak menjadi hamba, manusia dihadapkan pada dua pilihan, yakni menjadi hamba iblis atau hamba Allah. Hamba atau budak berasal dari bahasa Yunani, yaitu doulos. Nietzche berpendapat kalau Kekristenan adalah agama yang sangat negatif yang melemahkan jiwa manusia karena mengajarkan mentalitas dan etika budak. Pendapat yang gila ini muncul karena dalam perjalanan hidupnya, Nietzche banyak dipengaruhi oleh Richard Wagner, seorang filsuf aliran liberal maka Francis Schaefer menyebut kegilaan Nietzche sebagai kegilaan filosofis sebagai konsekuensi dari filosofinya yang menemui jalan buntu. Dulu, manusia adalah hamba dosa dan sekarang, kita dibebaskan dari perbudakan iblis untuk dibawa masuk dalam perbudakan yang baru namun dalam perbudakan yang baru ini kita justru mendapatkan kemerdekaan.
Bagi Rasul Paulus menjadi hamba Kristus merupakan suatu sukacita sebab Sang Tuan memperbudak dengan kasih sayang, Sang Tuan ini rela menyerahkan nyawa-Nya demi untuk budaknya. Hanya Kristus satu-satunya yang memperbudak umat-Nya tanpa menghancurkan tetapi justru memberikan kemerdekaan. Tanpa pencerahan Roh Kudus, konsep paradoks, perbudakan yang memerdekakan sangatlah sukar untuk dimengerti manusia. Abraham Lincoln, seorang yang menentang keras sistem perbudakan, suatu hari ia membeli seorang budak wanita untuk kemudian dibebaskan. Seharusnya, si budak ini merasakan sukacita karena ia mendapatkan kemerdekaan yang pada umumnya sangat didambakan oleh orang lain namun ironis, si budak ini tidak merasa gembira, ia mengikuti kemanapun Lincoln pergi karena ia tahu, justru berada di dalam tangan sang tuan ini, ia akan mendapatkan kemerdekaan. Dan si budak ini pastilah melayani tuannya dengan sepenuh hati, bukan sekedar formalitas belaka. Puji Tuhan, Allah kita lebih daripada Abraham Lincoln, Dia rela memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi kita dan takkan pernah kita ditinggalkannya sendiri, Dia selalu menuntun langkah hidup kita menuju kehidupan yang lebih baik, yakni kehidupan kekal. Merupakan suatu kebodohan kalau manusia yang merasa diri “pandai“ memutuskan untuk berjalan sendiri tanpa pimpinan Tuhan. Keputusan ada di tangan kita, manakah yang akan kita pilih kebebasan yang mematikan ataukan perbudakan yang penuh dengan kasih sayang? Sebab apalah artinya kemerdekaan kalau kita justru tidak merasakan kemerdekaan tapi yang ada hanyalah perbudakan bukankah kita lebih memilih yang namanya perbudakan tapi di dalamnya kita justru merasakan kasih sayang yang berlimpah kita.
II. Kita adalah milik Kristus sepenuhnya.
Seorang budak hanya boleh memiliki satu tuan saja maka kalau kita menjadi budak Kristus maka sepenuhnya kita harus mengabdi pada Kristus yang adalah Tuan; Kristus berkuasa penuh atas kita. Di bawah otoritas Tuhan, kita akan merasakan kemerdekaan yang sejati. Kalau seratus persen diri kita sudah menjadi milik Tuhan maka tidak ada lagi tuan lain yang berhak memiliki kita. Perbudakan itu termasuk juga kita diperbudak orang lain baik secara rohani, jasmani, maupun psikologis dan tanpa sadar, seringkali kita membiarkan orang lain mengendalikan diri kita, hati-hati karena itu menghancurkan integritas dan rohani kita. Dalam hal ini Saul telah gagal, ia lebih takut rakyat daripada Tuhan dalam hal mempersembahkan korban. Hal yang sama juga dilakukan oleh Petrus, ia tidak bertindak tegas di hadapan orang kafir, ia justru lebih memilih duduk dan semeja dengan orang kafir sampai Paulus, seorang Rasul yang junior menegurnya dengan keras. Keberanian Paulus menegur Petrus yang lebih senior pastilah datang dari Tuhan sebab jikalau tidak maka itu menjadi dosa kecongkakan. Bahkan demi untuk menyenangkan hati Tuhan, Paulus tidak takut sekalipun ia harus berhadapan dengan seorang malaikat sorga (Gal. 1:8-10). Seorang yang sudah menjadi milik Kristus maka tidak ada kuasa lain yang dapat mengontrol hidupnya karena Kristus yang mengontrol hidupnya. Setelah dilepaskan dari hamba dosa, Paulus menegaskan kita adalah hamba kebenaran maka seharusnya kita tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah bahkan jangan sekali-kali ada kata “kejahatan“ yang ada dalam pikiran kita. Biarlah kita dipakai menjadi saksi Tuhan sehingga jangan karena sikap dan tindakan kita maka nama Tuhan dipermalukan. Biarlah kita bertekad yakni segala perbuatan yang kita lakukan hanyalah untuk kebenaran (2Kor. 13:8), asal nama Tuhan saja yang dipermuliakan maka kita rela harus menanggung rugi dan malu.
Kedua, Orang yang menjadi budak dari Tuhan maka haruslah terlepas dari ego (2Kor. 4:5). Rasul Paulus, seorang yang dipakai Tuhan dengan sangat luar biasa namun ia tidak bermegah diri. Satu hal yang menjadi prinsip Paulus asal Salib Kristus diberitakan maka diri tidak berarti apa-apa bahkan ketika orang mengata-ngatai tentang hal-hal yang buruk tentang dirinya dan menganiaya dirinya, ia tidak peduli. Paulus menyadari kalau dirinya hanyalah seorang hamba Kristus, ia tidak mencari hak-hak atas dirinya dan ingin memegahkan dirinya, ia rela haknya diinjak-injak demi nama Kristus dimuliakan sebab ia menyadari hanya Yesus saja yang layak dan berhak menerima segala pujian dan hormat.
Ketiga, Bagi Paulus, kemerdekaan di dalam Kristus memberikan kemampuan dan kebebasan untuk menjadikan dirinya budak orang lain (1Kor. 9:19). Manusia bukanlah makhluk yang sempurna maka berada di bawah kendali manusia pastilah tidaklah mengenakkan kecuali anugerah Tuhan ada atas diri orang itu, orang menyadari bahwa dirinya juga adalah hamba maka segala sesuatu yang ia kerjakan tidak akan semena-mena, ia tidak akan menguntungkan dirinya sendiri. Hati-hati, dalam hal memberi pun hendaklah kita mengevaluasi diri, apa yang menjadi motivasi kita memberi? Apakah benar demi untuk kemuliaan Tuhan ataukah demi untuk kemuliaan diri? Kitab Amsal mengungkapkan orang dapat berbuat baik karena pertama-tama mereka mempersembahkan diri pada Tuhan barulah mereka mengalirkan berkat-berkat pada orang lain. Rasul Paulus adalah seorang yang bebas dan ia memakai kebebasannya tersebut untuk melayani Tuhan. Rasul Paulus dipakai Tuhan dengan sangat luar biasa karena ia adalah hamba Kristus yang takut akan Tuhan dan tidak berkompromi dengan dosa dan yang melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan saja. Kita telah dibebaskan dari dosa bukan untuk menjadi orang yang mandiri tanpa ada penguasaan maka hancurlah hidup kita. Kita di bawah dalam suatu perbudakan yang penuh kasih sayang, perbudakan yang memerdekakan. Amin... Sadur dari Khotbah Ev. Salomo Yo....