PERUMPAMAAN TENTANG ANAK YANG HILANG
Oleh: Pdt. Kristinus Unting, M.Div.
Lukas 15:11-32
Perumpamaan “anak yang hilang” adalah satu kisah sangat terkenal dari Alkitab. Biasanya yang menjadi fokus adalah si anak bungsu. Ia menuntut harta warisan bagiannya, pergi dari rumahnya, menghamburkan harta miliknya, jatuh miskin, menyadari dan menyesali perbuatannya, lalu kembali ke rumah ayahnya. Itu adalah gambaran yang dekat dengan kita. Kita terjerumus ke dalam dosa, lalu bertobat, dan mendapat pengasihan Bapa Sorgawi. Sadar atau tidak, bukankah kehidupan nyata kita juga tidak ubahnya seperti anak bungsu dalam perumpamaan ini? Kita datang kepada Allah dalam segala doa dan permohonan, dalam berbagai bentuk tuntutan kita kepada-Nya, layaknya si anak bungsu berkata, “Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku.” (ay.11).
Lalu bagaimana setelah berbagai “hak” kita diberikan oleh Allah? Sembuh dari sakit, lulus test, naik pangkat, kedudukan, dan berbagai kelimpahan berkat? Oh, tidak jarang kita menjadi terlalu sibuk menghamburkan waktu dan talenta yang kita punya seolah-olah itulah sekarang yang menjadi “tuhan” kita! Terkadang kita malah jadi lupa pintu gereja jadinya! Si “anak bungsu” di jaman modern sekarang terkadang lebih rela menghabiskan biaya berjuta-juta di meja judi, atau menyogok segala macam, tetapi tidak di kantong-kantong persembahan. Atau malah merusak diri dalam berbagai bentuk kejahatan moral yang berujung pada kisah akhir hidup memilukan!
Namun, sebetulnya sosok si anak sulung pun tidak kurang jauh dari gambaran kita. Bahkan, mungin kita lebih kerap seperti itu. Kita memang tidak sampai “terhilang”; kita tetap ke gereja, aktif dalam pelayanan, pendeknya kita adalah orang baik-baik, tidak pernah terjerumus dalam “kemabukan duniawi”. Tetapi, kita hidup dalam ketidaktulusan! Kita melakukan semua kebaikan itu dengan pamrih memperoleh “upah”. Sebab kita merasa lebih layak, lebih baik. Diam-diam kita telah menjadi hakim atas sesama kita. Bahkan tidak jarang, berbagai intrik busuk dilakukan untuk menjatuhkan orang.
Kathleen Norris, dalam The Cloister Walk, bercerita tentang pengalamannya bergereja. Suatu ketika ia ditanyai oleh seorang mahasiswa, mengapa ia terus pergi ke gereja dan bisa tahan menghadapi kemunafikan orang-orang Krtisten. Ia merasa memperoleh ilham yang jitu, dan menjawab, “Satu-satunya orang munafik yang perlu saya cemaskan pada hari Minggu pagi adalah diri saya sendiri.” Kathleen mengelakkan kecenderungan untuk mempersalahkan orang lain, dan memilih untuk berintrospeksi diri.
Sifat manusia si “anak sulung” cenderung gampang melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Ia dapat melihat dan menghakimi pelanggaran orang lain, tetapi buta terhadap pelanggarannya sendiri. Ketika dirinya yang melakukan pelanggaran, ia segera sibuk menuding orang lain sebagai penyebab pelanggarannya itu.Itulah sebabnya ketika ada “pendosa” yang bertobat dan kemudian mendapat pengasihan Tuhan, si anak sulung protes, “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku,” (ay.29), begitu protes si sulung kepada ayahnya. Tidak tulus, bersungut-sungut, dan tentu saja itu juga dosa.
Perumpaman “anak yang hilang” melalui nas ini hendak mengajarkan kepada kita tentang suatu kebenaran rohani, menggambarkan betapa kasih bapa terhadap anak-anaknya, bahwa kasih Allah itu tidak terbatas! Perhatian Allah yang tulus, bukan hanya kepada orang berdosa tetapi juga kepada anak-Nya yang taat. Karena itu, entah kita sebagai si bungsu atau si sulung, kita ini tetap si anak yang hilang. Tidakkah kita rindu kembali kepada Bapa? AMIN!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar